Jumat, Mei 14, 2010

KELAINAN KONGENITAL SKELETAL DAN MALOKLUSI

Cacat bawaan merupakan suatu keadaan cacat lahir pada neonatus yang tidak diinginkan kehadirannya oleh orang tua maupun petugas medis. Perhatian kita terhadap cacat bawaan masih sangat kurang, sedangkan negara kita saat ini telah berhasil dalam program KB serta telah memasyarakatkan NKKBS, maka pada zaman sekarang ini masalah kualitas hidup anak merupakan prioritas utama bagi Program kesehatan Nasional. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak adalah cacat bawaan
Laporan dari beberapa penelitian dari dalam maupun dari luar negeri angka kejadian cacat bawaan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Angka kematian bayi baik didalam maupun diluar negeri dari tahun ketahun semakin lama semakin turun , tetapi penyebab kematian mulai bergeser. Sebelumnya penyebab kematian pada bayi sebagian besar disebabkan masalah sepsis, asfiksia, dan sindrom distres nafas, maka akhir-akhir ini mulai bergeser pada masalah cacat bawaan, begitu juga penyebab kematian anak-anak yang tadi nya masalah nutrisi dan infeksi sangat dominan, tetapi masalah cacat.
Cacat bawaan adalah keadaan cacat yang terjadi sebelum terjadi kelahiran. Istilah anomali kongenital adalah cacat fisik maupun non fisik, sedangkan malformasi dan dismorfi kongenital diartikan berupa cacat fisik saja.
(Jurnal Asri Arumsari, Alwin kasim, bagian bedah mulut fakultas Kedokteran Gigi UNPAD)

Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin. ((Jurnal Asri Arumsari, Alwin kasim, bagian bedah mulut fakultas Kedokteran Gigi UNPAD).
Malformasi congenital adalah istilah untuk menerangkan kelainan structural, perilaku, faal dan kelainan metabolic yang terdapat saat lahir. Pada 40 hingga 60% dari semua cacat lahir penyebabnya tidak diketahui. Namun diduga factor genetic seperti kelainan kromosom dan gen-gen mutan serta factor lingkungan dan bias jadi gabungan dari keduanya yang disebut keturunan multifactor.

Etiologi Kelainan Kongenital
Penyebab malformasi genetic:
1. Pewaris dominan.
Malformasi-malformasi morfologis umumnya amat mempersempit peluang reproduksi individu yang bersangkutan. Biasanya penyakit ini baru tampak setelah usia 40 tahun. Malformasi dominant lainnya terjadi dengan frekuensi mutasi spontan atau memiliki daya tembus yang ringan.
2. Pewaris resesif.
Pada pewaris resesif frekuensi kejadian pada populasi yang terbatas dengan genetic yang sangat heterogen. Frekuensi varian gen mendekati frekuensi mutasi spontan.
3. Anomali-anomali kromosom.
Tidak adanya salah satu kromosom ataupun terdapat penggandaan satu kromosom homolog dan terjadi karena nondisjunction kromosom pada saat meiosis. Contohnya trisomi 21 (Down Syndrome) dan trisomi 13 dan 18.
4. Sindrom-sindrom malformasi.
Malformasi yang terjadi pada beberapa system organ di golongkan sebagai sindrom malformasi yang secara khas terjadi bersamaan. Pada beberapa sindrom, mutasi atau penyimpangan kromosom yang sudah diketahui penyebab. Pengaruhnya terjadi pada berbagai system organ sehingga berkembang sebagai sindrom.
5. Sindrom kerapuhan X.
Lengan panjang di salah satu kromosom X mengalami kerapuhan dan lokasi ini menyebabkan kromosom mudah patah sehingga menyebabkan lintas silang obligator antara kromosom X dan Y, dimana kelainan itu dikarenakan adanya peningkatan metilasi pada lokasi kromosom yang rapuh.
(Sadler,T.W: 1996)

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.
Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:
1. Kelainan Genetik dan Kromosom
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya.
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran , maka telah dapat diperiksa kemingkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindroma down (mongolism). Kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma turner.
2. Faktor Mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan hentuk rgan tubuh hingga menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot).
3. Faktor infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.


4. Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
5. Faktor Umur Ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
6. Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
7. Faktor Radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.
8. Faktor Gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian &elainan kongenital.
9. Faktor-faktor Lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.
(Jurnal Asri Arumsari, Alwin kasim, bagian bedah mulut fakultas Kedokteran Gigi UNPAD)

MACAM-MACAM KELAINAN KONGENITAL
1. Torus
Torus merupakan pembengkakan pada rahang yang menonjol dari mukosa mulut yang tidak berbahaya dan disebabkan oleh pembentukan tulang normal yang berlebihan, tampak radiopak dan dapat terjadi di beberapa tempat dari tulang rahang.
Umumnya, Torus menjadi jelas setelah dewasa meskipun kadang-kadang, pada anak sudah jelas. Pasien umumnya tidak menyadari hanya diketahui oleh dokter atau dokter gigi, terutama dalam hubungannya dengan pembuatan desain gegligi tiruan. Frekuensi bervariasi dengan usia. Rasio wanita: pria adalah 2:1. Torus dapat disebabkan oleh faktor genetik a dan fungsi. Namun peran factor fungsi tidak begitu kuat. Pada gambaran mikroskopis tampak korteks tulang yang padat, dan kompak, dengan daerah sentral tulang lebih spongiosa, dan kadang-kadang ditemukan lemak dalam sum-sum tulang.
Proyeksi tulang yang sama dapat terlihat pada permukaan labial, atau bukal dari lingir alveolar( alveolar ridge) maksila atau mandibula dan dinamakan tulang eksostosis.
Umumnya, kelinan ini tidak membutuhkan perawatan, kala mengganggu pemakaian gigi tiruan atau bicara, dapat dilakukan pengambilan secara bedah.
2. Agnasia
Kesalahan pembentukan lengkung mandibula sering dihubungkan dengan anomali fusi telinga luar pada daerah garis tengah yang normalnya ditempati oleh mandibula sehingga telinga bertemu di garis tengah. Agnesis absolut mandibula, masih diragukan apakah bisa terjadi. Pada keadaan ini, lidah juga tidak terbentuk atau mengalami reduksi ukuran. Meskipun astomia(tidak terbentuknya mulut) dapat terjadi, mikrostomia(mulut yang kecil) lebih sering terjadi. Kadang-kadang tidak ada hubungan dengan faring, yang tersisa hanya membran buko faringeal. Agnasia sering disebabkan oleh gangguan vaskularisasi .
3. Mikrognasia
Menunjukkan pengecilan ukuran mandibula dan maksila. Dagu dapat sangat retrusif atau absen sama sekali. Hidung dan bibir atas menjadi menonjol sehingga muka seperti burung. Keadaan ini dapat bersifat congenital seperti yang ditemukan pada berbagai sindrom, dapat pula terjadi sesudah lahir misalnya akibat trauma atau infeksi seperti atritis rematoid juvenilis. Mikrognasia dapat terjadi disebabkan oleh kegagalan pusat pertumbuhan di kepla sendi. Penyebabnya adalah kelainan perkembangan atau didapat. Pada kepala sendi oleh trauma pada saat lahir atau infeksi pada telinga, dapat menyerang pusatkepala sendi. Kemungkinan lain adalah trauma atau infeksi daerah kepala sendi yang umumnya unilateral dan menyebabkan pengecilan ukuran rahang yang unilateral.
4. Makrognasia
Pembesaran rahang, jika terjadi pada rahang bawah hal ini dapat menyebabkan protusi( kelas III Angle) dengan dagu menonjol. Keadaan ini dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat dapatan melalui penyakit serta dapat dikoreksi dengan tindakan bedah.
Ada beberapa sindrom perkembangan yang menunjukkan mikrognasia, rahang atas sebagai bagian dari suatu sindrom misalnya sindrom down atau sindrom apert. Sindrom down merupakan penyakit genetika yang palig sering ditemukan dengan ciri khas berupa rahang atas yang kecil selain tanda lainnya. Pada penyakit crouzon yang merupakan craniofasial sinestosis yang berkaitan dengan sindrom apert, ditemukan rahang atas dan hidung yang kecil sehingga menyebabkan muka melesak ke dalam.
5. Sumbing Bibir dan Palatum
Sumbing bibir dan palatum merupakan kelainan congenital yang sering kali menyebabkan menurunnya fungsi bicara, pengunyahan, dan penelanan yang sangat berat. Seringkali terjadi peningkatan referensi gangguan yang berhubungan dengan malformasi congenital sperti ketidakmampuan bicara sekunder serta menurunnya fungsi pendengaran, umumnnya bibir sumbing dan palatum dibagi dalam 4 kelompok besar, yaitu:
1. sumbing bibir
2. sumbing palatum
3. sumbing bibir dan palatum unilateral
4. sumbing bibir dan palatum bilateral
Biasanya, sumbing bibir dan palatum disertai kelainan bawaan lahir misanya hidrosefalus(peninggian tekanan intracranial), sindaktilia (jari-jari saling melekat) atau polidaktilia(jari-jari berlebih).
Sumbing bibir dapat terjadi bilateral pada regio incisive lateral dan caninus. Lebih sering terjadi unilateral, sisi kiri lebih sering dari sisi kanan. Sumbing dapat sempurna meluas ke dasar hidung atau tidak sempurna sebagai lekukan pada bibir atas.
Penyebab sumbing bibir dan palatum tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus sumbing bibir atau sumbing palatum atau keduanya dapat dijelaskan dengan hipotesis multifactor. Teori multifactor yang diturunkan menyatakan bahwa gen-gen yang beresiko berinteraksi satu dengan lainnya dan dengan lingkungan, menyebabkan cacat pada perkembangan janin. Sumbing bibir dan palatum merupakan kegagalan bersatunya jaringan selama perkembangan. Gangguan pola normal pertumbuhan muka dalam bentuk defisiensi processus muka merupakan penyebab kesalahan perkembangan bibir dan palatum. Sebagian besar ahli embriologi percaya bahwa defisiensi jaringan terjadi pada semua deformitas sumbing sehingga struktur anatomi normal tidak terbentuk. Periode perkembangan struktur bersifat spesifik sehingga sumbing bibir dapat terjadi terpisah dari sumbing palatum, meskipun keduanya dapat terjadi bersama-sama dan bervariasi dalam derajat keparahannya tergantung pada luas sumbing yang dapat bervariasi mulai dari lingir alveolar (alveolar ridge) sampai ke bagian akhir dari palatum lunak. Variasi dapat pula dimulai dari sudut mulut atau bifid uvula sampai defformitas berat berupa sumbing bibir yang meluas ke tulang alveolar dan seluruh palatum secara bilateral. Variasi yang terjadi merupakan refleksi dari defiasi rangkaian perkembangan palatum yang dimulai pada minggu ke 8 pada regio premaksila dan berakhir pada minggu ke 12 pada uvula di palatum lunak.
Sumbing yang hanya mengenai bibir dinamakan cheiloschisis. Sumbing bibir umumnya terjadi pada minggu ke 6 sampai 7 iu, sesuai dengan waktu perkembangan bibir normal..Dengan terjadinya kegagalan penetrasi dari sel mesodermal pada groove epitel diantara processus nasalis medialis dan lateralis.
Sumbing sempurna yang meliputi kelainan dimulai dari perbatasan bibir dan kulit melalui tulang alveolar rahang atas sampai bagian bawah (dasar) rongga hidung dan rongga mulut disebut dengan cheilognathoschisis. Sumbing palatum terjadi pada minggu ke 8 akibat kegagalan fusi processus palatinus dan processus premaksila. Sumbing yang sudah melibatkan palatum dinamakan chilognathopalatoskisis.
Klasifikasi Veau untuk sumbing bibir :
Klas I : Takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai bibir.
Klas II : Bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir tetapi tidak mengenai dasar hidung
Klas III : Sumbing unilateral pada merah bibir yang meluas melalui bibir ke dasar hidung
Klas IV : Setiap sumbing bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak sempurna atau merupakan sumbing yang sempurna

Klasifikasi Veau untuk sumbing palatum :
Klas I : Sumbing yang terbatas pada palatum lunak
Klas II : Cacat pada palatum keras dan lunak, meluas tidak melampaui foramen insisivum dan terbatas hanya pada palatum sekunder
Klas III : Sumbing pada palatum sekunder dapat komplit atau tidak komplit. Sumbing palatum komplit meliputi palatum lunak dank eras sampai foramen insisivum. Sumbing tidak komplit meliputi palatum lunak dan bagian palatum keras, tetapi tidak meluas sampai foramen insisivum. Sumbing unilateral yang komplit dan meluas dari uvula sampai foramen insisivum di garis tengah dan processusu alveolaris unilateral.
Klas IV : Sumbing bilateral komplit meliputi palatum lunak dan keras serta processus alveolaris pada kedua sisi premaksila, meninggalkan daerah itu bebas dan seringkali bergerak.

(drg. Janti Sudiono, MDSc. 2008 : 5, 19)
MALOKLUSI
Etiologi dari maloklusi
 Etiologi dari maloklusi menurut Moyers, adalah :
1. Herediter :
a. Sistem neuromuskuler
b. Tulang
c. Geligi
d. Jaringan lunak selain otot dan saraf
2. Kelainan perkembangan karena sebab yang tidak diketahui
3. Trauma
a. Trauma prenatal
b. Trauma postnatal
4. Agen fisik
a. Prenatal
b. Postnatal
5. Kebiasaan
a. Penyakit
b. Kelainan endokrin
c. Penyakit lokal
6. Malnutrisi
 Menurut Salzmann, etiologi dari maloklusi dapat disebabkan oleh :
1. Faktor prenatal :
a. Genetik
b. Diferensiasi
c. Kongenital
2. Faktor postnatal :
a. Perkembangan
b. Fungsional
c. Lingkungan

 Faktor – faktor etiologi dari maloklusi menurut Graber, adalah :
1. Faktor umum, yaitu faktor yang tidak berpengaruh langsung pada gigi, yang meliputi :
a. Herediter
b. Kelainan kongenital
c. Lingkungan :
• Prenatal
• Postnatal
d. Penyakit atau gangguan metabolism
e. Problema diet
f. Kebiasaan buruk
g. Posture
h. Trauma dan kecelakaan
2. Faktor lokal, yaitu faktor yang berpengaruh langsung pada gigi, yang terdiri atas :
a. Anomali jumlah gigi :
• Gigi kelebihan
• Missing
b. Anomali ukuran gigi
c. Anomali bentuk gigi
d. Frenulum labial abnormal
e. Kehilangan premature
f. Retensi
g. Erupsi gigi permanen terlambat
h. Pola erupsi abnormal
i. Ankilosis
j. Karies gigi
k. Restorasi gigi yang tidak baik

Faktor-faktor skeletal yang mempengaruhi perkembangan oklusi. Faktor utama yang membentuk dua variasi yang dikelompokkan menjadi factor umum dan factor local. Faktor umum dibagi menjadi:
1. Faktor skeletal.
Faktor skeletal meliputi ukuran, bentuk, dan posisi dari rahang atas maupun rahang bawah.
2. Faktor otot.
Faktor otot meliputi bentuk, dan fungsi otot yang mengelilingi gigi, misalnya otot pipi dan lidah.
3. Faktor gigi.
Faktor gigi meliputi ukuran gigi geligi dalam hubungannya dengan ukuran rahang.
Sedangkan factor local, terdiri dari:
1. Posisi perkembangan gigi-gigi yang acak.
2. Adanya gigi-gigi supernumery.
3. Hipodonsia (tidak adanya gigi tertentu)
4. Efek aktivitas kebiasaan tertentu (kebiasaan buruk)
5. Anomali jaringan lunak yang terlokalisir (frenulum labial)

Klasifikasi Edward Angle (1899) walaupun berbeda dalam beberapa aspek yang penting. Ini adalah klasifikasi dari hubungan antero-posterior lengkung gigi-gigi atas dan bawah dan tidak melibatkan hubungan lateral serta vertical, gigi berjejal dan malposisi local dari gigi-gigi:
1. Klas 1.
Hubungan ideal yang bisa ditolerir, dimana gigi berada pada posisi normal di lengkung rahang, ujung caninus berada di bidang vertical yang sama seperti ujung gigi caninus bawah. Gigi premolar atas berinterdigitasi dengan gigi premolar bawah. Gigi insisiv berada pada inklinasi yang tepat dimana overjet insisal adalah 3 mm.
2. Klas 2.
Pada klas 2, lengkung gigi bawah lebih posterior daripada lengkung gigi atas dibandingkan pada hubungan klas 1. Pada klas 2 ini profil wajah berbentuk cembung. Ada 2 tipe hubungan klas 2 yang umum dijumpai, yaitu:
a. Klas 2 divisi 1.
Gigi insisiv sentral atas mengalami proklinasi dan overjet insisal lebih besar. Gigi insisiv lateral atas juga proklinasi.
b. Klas 2 divisi 2
Gigi insisiv sentral atas mengalami proklinasi sedangkan gigi insisiv lateral atas bias mengalami proklinasi maupun retroklinasi.\
3. Klas 3
Pada klas 3 lengkung gigi bawah terletak lebih anterior tehadap lengkung gigi atas dibandingkan hubungan klas 1. Pada klas 3 ini profil wajah berbentuk cekung.

Pada salah satu penelitian mengenai oklusi gigi, Foster dan Day menemukan proporsi sebagai berikut:
Klas 1 44%
Klas 2 divisi 1 27%
Klas 2 divisi 2 18%
Klas 2 (tak pasti) 7%
Klas 3 (sejati) 3%
Klas 3 (postural) 0,3%
(Foster, T.D: 1993)

1 Comment:

anisa widia mengatakan...

thank buat infonya

Posting Komentar | Feed

Posting Komentar



 

My Blog List

Follower

Revias Clinics Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER