Selasa, Mei 11, 2010

Penatalaksaan Inflamasi di Rongga Mulut

2.1 Peradangan atau Inflamasi
2.1.1 Pengertian dan proses terjadinya radang
Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama hospes tetap hidup ada respon yang menyolok pada jaringan hidup disekitarnya. Respon terhadap cedera ini dinamakan peradangan. Yang lebih khusus peradangan adalah reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Peradangan sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan dan pertahanan, hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang,penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan. Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi dengan baik yang dinamis dan kontinue . Untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan khususnya harus memiliki mikrosirkulasi fungsional. Sehingga dimaksud dengan radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera.
Pada proses peradangan terjadi pelepasan histamine dan zat-zat humoral lain kedalam cairan jaringan sekitarnya. (Price, 1994)

Akibat dari sekresi histamine tersebut berupa:
1. Peningkatan aliran darah lokal.
2. Peningkatan permeabilitas kapiler.
3. Perembesan ateri dan fibrinogen kedalam jaringan interstitial.
4. Edema ekstraseluler lokal.
5. Pembekuan cairan ekstraseluler dan cairan limfe.

proses terjadinya peradangan yakni pada setiap luka pada jaringan akan timbul reaksi inflamasi atau reaksi vaskuler.Mula-mula terjadi dilatasi lokal dari arteriole dan kapiler sehingga plasma akan merembes keluar. Selanjutnya cairan edema akan terkumpul di daerah sekitar luka, kemudian fibrin akan membentuk semacam jala, struktur ini akan menutupi saluran limfe sehingga penyebaran mikroorganisme dapat dibatasi. Dalam proses inflamasi juga terjadi phagositosis, mula-mula phagosit membungkus mikroorganisme, kemudian dimulailah digesti dalam sel. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pH menjadi asam. Selanjutnya akan keluar protease selluler yang akan menyebabkan lysis leukosit.Setelah itu makrofag mononuclear besar akan tiba di lokasi infeksi untuk membungkus sisa-sisa leukosit. Dan akhirnya terjadilah pencairan (resolusi) hasil proses inflamasi lokal. Cairan kaya protein dan sel darah putih yang tertimbun dalam ruang ekstravaskular sebagai akibat reaksi radang disebut eksudat. Perbedaan antara Eksudat dan Transudat yaitu, Eksudat adalah cairan radang ekstravaskular dengan berat jenis tinggi (diatas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg % serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat permeabilitas vascular (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravascular sebagai akibat aliran lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya. Sedangkan Transudat adalah cairan dalam ruang interstitial yang terjadi hanya sebagai akibat tekanan hidrostatik atau turunnya protein plasma intravascular yang meningkat (tidak disebabkan proses peradangan/inflamasi). Berat jenis transudat pada umumnya kurang dari 1.012 yang mencerminkan kandungan protein yang rendah. Contoh transudat terdapat pada wanita hamil dimana terjadi penekanan dalam cairan tubuh. (Price, 1994)

2.1.2 Jenis-Jenis Eksudat
1. Eksudat non seluler
a. Eksudat serosa
Pada beberapa keadaan radang, eksudat hampir terdiri dari cairan dan zat-zat yang terlarut dengan sangat sedikit leukosit. Jenis eksudat nonseluler yang paling sederhana adalah eksudat serosa,yang pada dasarnya terdiri dari protein yang merembes dari pembuluh-pembuluh darah yang permiable dalam daerah radang bersama-sama dengan cairan yang menyertainya. Contoh eksudat serosa yang paling dikenal adalah cairan luka melepuh.

b. Eksudat fibrinosa
Jenis eksudat nonseluler yang kedua adalah eksudat fibrinosa yang terbentuk jika protein yang dikeluarkan dari pembuluh dan terkumpul pada daerah peradangan yang mengandung banyak fibrinogen. Fibrinogen ini diubah menjadi fibrin, yang berupa jala jala lengket dan elastic (barangkali lebih dikenal sebagai tulang belakang bekuan darah). Eksudat fibrinosa sering dijumpai diatas permukaan serosa yang meradang seperti pleura dan pericardium dimana fibrin diendapkan dipadatkan menjadi lapisan kasar diatas membran yang terserang. Jika lapisan fibrin sudah berkumpul di permukaan serosa,sering akan timbul rasa sakit jika terjadi pergeseran atas permukaan yang satu dengan yang lain. Contoh pada penderita pleuritis akan merasa sakit sewaktu bernafas, karena terjadi pergesekan sewaktu mengambil nafas.

c. Eksudat musinosa (Eksudat kataral)
Jenis eksudat ini hanya dapat terbentuk diatas membran mukosa, dimana terdapat sel-sel yang dapat mengsekresi musin. Jenis eksudat ini berbeda dengan eksudat lain karena eksudat ini merupakan sekresi set bukan dari bahan yang keluar dari aliran darah. Sekresi musin merupakan sifat normal membran mukosa dan eksudat musin merupakan percepatan proses dasar fisiologis.Contoh eksudat musin yang paling dikenal dan sederhana adalah pilek yang menyertai berbagai infeksi pemafasan bagian atas.

2. Eksudat Seluler
Eksudat netrofilik
Eksudat yang mungkin paling sering dijumpai adalah eksudat yang terutama terdiri dari neutrofil polimorfonuklear dalam jumlah yang begitu banyak sehingga bagian cairan dan protein kurang mendapat perhatian. Eksudat neutrofil semacam ini disebut purulen. Eksudat purulen sangat sering terbentuk akibat infeksi bakteri.lnfeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi neutrofil yang luar biasa tingginya di dalam jaringan dan banyak dari sel-sel ini mati dan membebaskan enzim-enzim hidrolisis yang kuat disekitarnya. Dalam keadaan ini enzim-enzim hidrolisis neutrofil secara haraf ah mencernakan jaringan dibawahnya dan mencairkannya. Kombinasi agregasi netrofil dan pencairan jaringan-jaringan di bawahnya ini disebut suppuratif,atau lebih sering disebut pus/nanah.
Jadi pus terdiri dari :
- neutrofil pmn. yang hidup dan yang mati neutrofil pmn. yang hancur
- hasil pencairan jaringan dasar (merupakan hasil pencernaan)
- eksudat cair dari proses radang
- bakteri-bakteri penyebab
- nekrosis liquefactiva.
3. Eksudat Campuran
Sering terjadi campuran eksudat seluler dan nonseluler dan campuran ini dinamakan sesuai dengan campurannya.Jika terdapat eksudat fibrinopurulen yang terdiri dari fibrin dan neutrofil polimorfonuklear,eksudat mukopurulen, yang terdiri dari musin dan neutrofil, eksudat serofibrinosa dan sebagainya. (price, 1994)

2.1.3. Reaksi sel pada radang
Leukositosis terjadi bila ada jaringan cedera atau infeksi sehingga pada tempat cedera atau radang dapat terkumpul banyak leukosit untuk membendung infeksi atau menahan microorganisme menyebar keseluruh jaringan. Leukositosis ini disebabkan karena produksi sumsum tulang meningkat, sehingga jumlahnya dalam darah cukup untuk emigrasi pada waktu terjadi cedera atau radang. Karena itu banyak leukosit yang masih muda dalam darah, dalam pemeriksaan laboratorium dikatakan pergeseran ke kiri.



Jenis-Jenis Leukosit Dan Masing-Masing Fungsinya Dalam Peradangan

Leukosit yang bersirkulasi dalam aliran darah dan emigrasi ke dalam eksudat peradangan berasal dari sumsum tulang, di mana tidak saja leukosit tetapi juga sel-sel darah merah dan trombosit dihasilkan secara terus memenerus.Dalam keadaan normal, di dalam sumsum tulang dapat ditemukan banyak sekali leukosit yang belum matang dari berbagai jenis dan "pool" leukosit matang yang ditahan sebagai cadangan untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit yang bersirkulasi dalam darah perifer dibatasi dengan ketat tetapi diubah "sesuai kebutuhan" jika timbul proses peradangan. Artinya, dengan rangsangan respon peradangan, sinyal umpan balik pada sumsum tulang mengubah laju produksi dan pengeluaran satu jenis leukosit atau lebih ke dalam aliran darah.
1. Granulosit
Terdiri dari : neutrofil, eosinofil, dan basofil. Dua jenis leukosit lain ialah monosit dan limposit, tidak mengandung banyak granula dalam sitoplasmanya.
a) Neutrofil. Sel-sel pertama yang timbul dalam jumlah besar di dalam eksudat pada jamjam pertama peradangan adalah neutrofil.Inti dari sel ini berlobus tidak teratur atau polimorf. Karena itu sel-sel ini disebut neutrofil polimorfonuklear (pmn) atau "pool". Sel-sel ini memiliki urutan perkembangan di dalam sumsum tulang, perkembangan ini kira-kira memerlukan 2 minggu. Bila mereka dilepaskan ke dalam sirkulasi darah, waktu paruhnya dalam sirkulasi kira-kira 6 jam. Per millimeter kubik darah terdapat kira-kira 5000 neutrofil, kira-kira 100 kali dari jumlah ini tertahan dalam sumsum tulang sebagai bentuk matang yang siap untuk dikeluarkan bila ada sinyal. Granula yang banyak sekali terlihat dalam sitoplasma neutrofil sebenarnya merupakan paket-paket enzim yang terikat membran yaitu lisosom, yang dihasilkan selama pematangan sel. Jadi neutrofil pmn yang matang adalah kantong yang mengandung banyak enzim dan partikel-partikel antimicrobial. Neutrofil pmn mampu bergerak aktif dan mampu menelan berbagai zat dengan proses yang disebut fagositosis. Proses fagositosis dibantu oleh zat-zat tertentu yang melapisi obyek untuk dicernakan dan membuatnya lebih mudah dimasukkan oleh leukosit. Zat ini dinamakan opsonin. Setelah mencernakan partikel dan memasukkannya ke dalam sitoplasma dalam vakuola fagositosis atau fagosom, tugas berikutnya dari leukosit adalah mematikan partikel itu jika partikel itu agen microbial yang hidup, dan mencernakannya. Mematikan agen-agen yang hidup itu diselesaikan melalui berbagai cara yaitu perubahan pH dalam sel setelah fagositosis, melepaskan zat-zat anti bakteri. Pencernaan partikel yang terkena fagositosis itu umumnya diselesaikan di dalam vakuola dengan penyatuan lisosom dengan fagosom. Enzim-enzim pencernaan yang sebelumnya tidak aktif sekarang diaktifkan di dalam fagolisosom, mengakibatkan pencernaan obyek secara enzimatik.

b) Eosinofil. Merupakan jenis granulosit lain yang dapat ditemukan dalam eksudat peradangan, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Eosinofil secara fungsional akan memberikan respon terhadap rangsang kemotaksis khas tertentu yang ditimbulkan pada perkembangan allergis dan mereka mengandung enzim-enzim yang mampu menetralkan efek-efek mediator peradangan tertentu yang dilepaskan dalam reaksi peradangan semacam itu.

c) Basofil. Berasal dari sumsum tulang yang juga disebut mast sel/basofil jaringan. Granula dari jenis sel ini mengandung berbagai enzim, heparin, dan histamin. Basofil akan memberikan respon terhadap sinyal kemotaksis yang dilepaskan dalam perjalanan reaksi immunologis tertentu. Dan basofil biasanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dalam eksudat. Basofil darah dan mast sel jaringan dirangsang untuk melepas granulanya pada berbagai keadaan cedera, termasuk reaksi immunologis maupun reaksi non spesifik.Dalam kenyataannya mast sel adalah sumber utama histamin pada reaksi peradangan.

2. Monosit Adalah bentuk leukosit yang penting. Pada reaksi peradangan monosit akan bermigrasi, tetapi jumlahnya lebih sedikit dan kecepatannya lebih lambat. Karena itu, pada jam jam pertama peradangan relative sedikit terdapat monosit dalasn eksudat. Namun makin lama akan makin bertambah adanya monosit dalam eksudat. Sel yang sama yang dalam aliran darah disebut monosit, kalau terdapat dalam eksudat disebut makrofag. Ternyata, jenis sel yang sama ditemukan dalam jumlah kecil melalui jaringan penyambung tubuh walaupun tanpa peradangan yang jelas. Makrofag yang terdapat dalam jaringan penyambung ini disebut histiosit. Dengan banyak hal fungsi makrofag sangat mirip dengan fungsi neutrofil pmn. dimana makrofag akan bergerak secara aktif yang memberi respon terhadap stimulasi kemotaksis, fagosit aktif dan mampu mematikan serta mencernakan berbagal agen. Ada perbedaan penting antara makrofag dan neutrofil, dimana siklus kehidupan makrofag lebih panjang, dapat bertahan berminggu-minngu atau bahkan berbulan-bulan dalam jaringan dibanding dengan neutrofil yang berumur pendek. Selain itu waktu monosit memasuki aliran darah dari sumsum tulang dan waktu memasuki jaringan dari aliran darah, ia belum matang betul seperti halnya neutrofil. Karena neutrofil dalam jaringan dan aliran darah sudah mengalami pematangan (sudah matang), sehingga ia tidak mampu melakukan pembelahan sel dan juga tidak mampu melakukan sintesis enzim-enzim pencenna. Pada monosit dapat dirangsang untuk membelah dalam jaringan, dan mereka mampu memberi respon terhadap keadaan lokal dengan mensintesis sejumlah enzim intrasel. Kemampuan untuk menjalani "on the.job training", ini adalah suatu sifat makrofag yang vital, khususnya pada reaksireaksi immunologis tertentu. Selain itu makrofag-makrofag dapat mengalami perubahan bentuk, selama mengalami perubahan itu, mereka menghasilkan seI-se1 secara tradisional disebut sel epiteloid. Makrofag juga mampu bergabung membentuk sel raksasa berinti banyak disebut giant cell. Walaupun makrofag merupakan komponen penting dalam eksudat namun mereka tersebar secara luas dalam tubuh, dalam keadaan normal dan disebut sebagai system reticuloendotelial atau RES (Reticulo Endotelial System), yang mempunyai sifat fagositosis, termasuk juga dalam hati, sel tersebut dikenal sebagai sel kupffer. Fungsi utama makrofag sebagai pembersih dalam darah ataupun seluruh jaringan tubuh.Fungsi RES yang sehari-hari penting menyangkut pemrosesan haemoglobin sel darah merah yang sudah mencapai akhir masa hidupnya. Sel-sel ini mampu memecah Hb menjadi suatu zat yang mengandung besi dan zat yang tidak mengandung besi. Besinya dipakai kembali dalam tubuh untuk pembuatan sel-sel darah merah lain dalam sumsum tulang dan zat yang tidak mengandung besi dikenal sebagai bilirubin, di bawa ke dalam aliran darah ke hati, dimana hepatosit mengekstrak bilirubin dari aliran darah dan mengeluarkannya sebagai bagian dari empedu.

3. Limposit. Umumnya terdapat dalam eksudat hanya dalam jumlah yang sangat kecil,meskipu eksudat sudah lama terbentuk yaitu sampai reaksi-reaksi peradangan menjadi kronis.

2.1.4. Tanda-Tanda Kardinal Peradangan :
Pada peristiwa peradangan akut dapat dilihat tanda-tanda pokok (gejala kardinal).

1. Rubor (kemerahan)
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensupali daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau kongesti,menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia,melalui pengeluaran zat seperti histamin.

2. Kalor (panas)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari -37 °C yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan tubuh kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37°C, hyperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.

3. Dolor (rasa sakit)
Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.

4. Tumor (pembengkaan)
Segi paling menyolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkaan lokal (tumor). Pembengkaan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat.
5. Fungsio laesa (perubahan fungsi)
Fungsio laesa atau perubahan fungsi adalah reaksi peradangan yang telah dikenal. Sepintas lalu, mudah dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal dart lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, berfungsi secara abnormal. Namun sebetulnya kita tidak mengetahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu.

2.1.5 Berbagai bentuk/Jenis Radang
Bentuk peradangan dapat timbul didasarkan atas jenis eksudat yang terbentuk, organ atau jaringan tertentu yang terlibat, dan lamanya proses peradangan. Tata nama proses peradangan memperhitungkan masing-masing variable ini. Berbagai eksudat diberi nama deskriptif. Lamanya respon peradangan disebut akut;disebut kronik jika ada bukti perbaikan yang sudah lanjut bersama dengan dumadhsi;dan disebut subakut jika ada bukti awal perbaikan bersama dengan eksudasi. Lokasi reaksi peradangan disebut dengan akhiran -it is yang ditambahkan pada nama organ (misalnya; apendisitis, tonsillitis).
Jenis Radang
Misalnya: radang kataral, radang pseudomembran, ulkus, abses, flegmon, radang purulen, suppurativaa dan lain-lain.
a) Radang Kataral
Terbentuk diatas permukaan membran mukosa,dimana terdapat sel-sel yang dapat mensekresi musin. Eksudat musin yang paling banyak dikenal adalah puck yang menyertai banyak infeksi pernafasan bagian atas.

b) Radang Pseudomembran
Istilah ini dipakai untuk reaksi radang pada permukaan selaput lendir yang ditandai dengan pembentukan eksudat berupa lapisan selaput superficial, mengandung agen penyebab, endapan fibrin, sel-sel nekrotik aktif dan sel-sel darah putih radang.Radang membranosa sering dijumpai dalam orofaring, trachea,bronkus, dan traktus gastrointestinal.

c) Ulkus
Terjadi apabila sebagian permukaan jaringan hilang sedangkan jaringan sekitarnya meradang.

d) Abses
Abses adalah lubang yang terisi nanah dalam jaringan. Abses adalah lesi yang sulit untuk diatasi oleh tubuh karena kecenderungannya untuk meluas dengan pencairan, kecenderungannya untuk membentuk lubang dan resistensinya terhadap penyembuhan. Jika terbentuk abses, maka obat-obatan seperti antibiotik dalam darah sulit masuk ke dalam abses. Umumnya penanganan abses oleh tubuh sangat dibantu oleh pengosongannya secara pembedahan, sehingga memungkinkan ruang yang sebelumnya berisi nanah mengecil dan sembuh. Jika abses tidak dikosongkan secara pembedahan oleh ahli bedah, maka abses cenderung untuk meluas, merusak struktur lain yang dilalui oleh abses tersebut.
e) Flegmon
Flegmon radang purulen yang meluas secara defuse pada jaringan.

f) Radang Purulent
Terjadi akibat infeksi bakteri.terdapat pada cedera aseptik dan dapat terjadi dimana-mana pada tubuh yang jaringannya telah menjadi nekrotik.

g) Radang supuratif
Gambaran ini adalah nekrosis liqeuvaktifa yang disertal emigrasi neutrofil dalam jumlah banyak.Infeksi supuratif local disebabkan oleh banyak macam bakteri yang secara kolektif diberi nama piogen (pembentukan nanah).Yang termasuk piogen adalah stafilokokkus,banyak basil gram negatif. Perbedaan penting antara radang supuratif dan radang purulen bahwa pada radang supuratif terjadi nekrosis liquefaktiva dari jaringan dasar. Nekrosis liquefaktiva adalah jaringan nekrotik yang sedikit demi sedikit mencair akibat enzim.

2.1.6. Aspek/Reaksi Sistemik Pada Peradangan

Reaksi sistemik yang menyertai reaksi local pada peradangan diantaranya adalah
1. Demam. Yang merupakan akibat dari pelepasan zat pirogen endogen yang berasal dari neutrofil dan makrofag. Selanjutnya zat tersebut akan memacu pusat pengendali suhu tubuh yang ada dihypothalamus.

2. Perubahan hematologis. Rangsangan yang berasal dari pusat peradangan mempengaruhi proses maturasi dan pengeluaran leukosit dari sumsum tulang yang mengakibatkan kenaikan suatu jenis leukosit, kenaikan ini disebut leukositosis. Perubahan protein darah tertentu juga terjadi bersamaan dengan perubahan apa yang dinamakan laju endap darah.

3. Gejala konstitusional. Pada cedera yang hebat, terjadi perubahan metabolisme dan endokrin yang menyolok. Akhirnya reaksi peradangan local sering diiringi oleh berbagai gejala konstitusional yang berupa malaise, anoreksia atau tidak ada nafsu makan dan ketidakmampuan melakukan sesuatu yang beratnya berbeda-beda bahkan sampai tidak berdaya melakukan apapun.

2.2 Odontektomi dan Operkulektomi
a. Odontektomi
Odontektomi adalah pengeluaran gigi yang tidak erupsi atau erupsi sebagian atau sisa akar yang tertinggal dan tidak dapat diekstraksi dengan teknik tang (forceps technique) sehingga harus dikeluarkan dengan tindakan eksisi bedah (eksisi chirurgis).
Indikasi odontektomi:
 Para ABM & maksilofasial USA th 1974 memodifikasi indikasi odontektomi:
1. Korelasi yang tidak sesuai; ukuran gigi dengan rahang.
2. Untuk keperluan terapi ortodontik.
3. Menimbulkan kerusakan pada tulang gigi yang berdekatan.
4. Gigi impaksi yang terlibat kista atau tumor.
5. Gigi impaksi dengan infeksi berulang (recurent).
6. Resorbsi internal atau eksternal dan karies.
7. Sakit yang tidak diketahui penyebabnya.
8. Persiapan terapi radiasi rahang dan jaringan sekitarnya.
9. Gigi impaksi yang tidak berfungsi di dalam rongga mulut.
 Usia muda < 18 tahun.
 Prostetik atau restorative.
 Sebelum tulangsangat termineralisasi dan padat.
 < 26 tahun.

Kontraindikasi odontektomi:
1. Tidak ada keluhan.
2. Kemungkinan menyebabkan gigi terdekat rusak atau struktur penting lainnya.
3. Kondisi fisik buruk.
4. Penderita usia lanjut.
5. Kondisi fisik atau mental terganggu.
6. Rasio resiko: manfaat tidak menguntungkan.
b. Operculektomi
Operculektomy adalah suatu pembedahan yang bertujuan untuk menghilangkan bagian operculum yang ini berarti merupakan suatu upaya pencegahan dari perkembagan dari penyakit perikoronitis akut. Operculum dapat dihilangakan dengan berbagai macam tekhnik. penghilangan operculum ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan electrosurgical scalpel atau radiosurgical loop.
Diagram yang menunjukkan sebelum dan sesudah dilakukan operculectomy




2.3 Klasifikasi Impaksi
Hubungan Radiografis terhadap molar kedua
M3 atas dan bawah yang impaksi dikelompokkan berdasarkan hubungannya dengan molar kedua. Klasifikasi yang didasarkan sinar-X ini dilakukan dengan melihat inklinasi gigi yang mengalami impaksi yaitu : mesioangular, distoangular, vertikal, dan horizontal. Posisi mesioangular paling sering terjadi pada impaksi gigi bawah, sedangkan posisi distoangular paling sering terjadi pada impaksi gigi atas. Untungnya kedua posisi gigi tersebut juga paling mudah pencabutannya. Didasarkan pada hubungan ruang, impaksi juga dikelompokkan berdasarkan hubungan bukal lingualnya. Kebanyakan impaksi M3 bawah mempunyai mahkota mengarah ke lingual. Pada impaksi M3 yang melintang, orientasi mahkota selalu ke lingual. Hubungan melintang juga terjadi pada impaksi gigi atas tetapi jarang.( Gordon W. Pedersen, 1996)
Kedalaman
Baik gigi impaksi atas maupun bawah bisa dikelompokkan berdasarkan kedalamannya, dalam hubungannya dengan garis servikal M2 di sebelahnya. Pada level A, mahkota M3 yang impaksi berada pada atau diatas garis oklusal. Pada level B mahkota M3 di bawah garis oklusal tetapi diatas garis servikal M2. Sedangkan pada level C, mahkota gigi yang impaksi terletak dibawah garis servikal. (Gordon W. Pedersen, 1996)
Penjang lengkung/atau kedekatannya dengan ramus ascendens
Impaksi M3 bawah juga diklasifikasikan berdasarkan hubungannya terhadap linea obliqua externa atau tepi anterior ramus ascendens. Pada klas I ada celah di sebelah distal M2 yang potensial untuk tempat erupsi M3. Pada klas II, celah disebelah distal M2 lebih sempit dari lebar mesio-distal mahkota M3, sedangkan pada klas III mahkota gigi impaksi seluruhnya terletak di dalam ramus. (Gordon W. Pedersen, 1996)

2.4 Indikasi dan Kontraindikasi Pengambilan Gigi Impaksi
Indikasi Pengambilan Gigi Impaksi
1. Pencegahan dari terjadinya :
- Infeksi karena | erupsi yang terlambat dan abnormal (perikoronitis)
- Berkembangnya folikel menjadi keadaan patologis (kista odontogenik dan neoplasma)
2. Usia muda, sesudah akar gigi terbentuk sepertiga sampai duapertiga bagian dan sebelum pasien mencapai usia 18 tahun (periode emas)
3. Adanya infeksi (fokus selulitis)
4. Adanya keadaan patologi (odontogenik)
5. Penyimpangan panjang lengkung rahang dan untuk membantu mempertahankan stabilitas hasil perawatanortodonsi
6. Prostetif atau restoratif (diperlukan untuk mencapai jalan masuk ke tepi gingiva distal dari molar kedua didekatnya)
7. Apabila molar kedua didekatnya dicabut dan kemungkinan erupsi normal atau berfungsinya molar ketiga impaksi,sangat kecil
8. Secara umum, sebelum tulang sangat termineralisasi dan padat yaitu sebelum usia 26 tahun
( Gordon W. Pedersen, 1996)
Kontra Indikasi Pengambilan Gigi Impaksi
1. Apabila pasien tidak menghendaki giginya dicabut
2. Sebelum panjang akar mencapai sepertiga atau duapertiga dan apabila tulang yang menutupinya terlalu banyak (pencabutan prematur)
3. Jika kemungkinan besar terjadi kerusakan pada struktur penting di sekitarnya atau kerusakan tulang pendukung yang luas misalnya rasio risiko/manfaat tidak menguntungkan
4. Apabila tulang yang menutupinya sangat termineralisasi dan padat, yaitu pasien yang berusia lebih dari 26 tahun
5. Apabila kemampuan pasien untuk menghadapi tindakan pembedahan terganggu oleh kondisi fisik atau mental tertentu
( Gordon W. Pedersen, 1996)
Indikasi yang lain
Apabila penyimpangan panjang lengkung rahang terlihat secara klinis, diperkirakan akan timbul sesaat lagi, atau terlihat secara radiografis, pencabutan interseptif M3 kadang-kadang dilakukan. Apabila gigi M2 disebelahnya akan direstorasi, serta memerlukan jalan masuk ke tepi gingiva distal, pencabutan M3 seringkali sangat dibutuhkan. Apabila M2 disebelahnya dicabut dan hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada kemungkinan erupsi normal dari M3 di sebelahnya yang impaksi baik karena posisi, usia pasien atau keduanya, maka M3 yang impaksi tersebut biasanya dicabut. ( Gordon W. Pedersen, 1996)
Rasio risiko/manfaat yang tak menguntungkan
Kontraindikasi lokal pemcabutan M3 yang impaksi adalah adanya risiko yang tinggi dari cedera struktur penting didekatnya. Kontraindikasi khusus dari pencabutan M3 impaksi timbul apabila didapatkan rasio risiko/manfaat yang tidak menguntungkan karenakemungkinan akan mencederai gigi yang bererupsi dan berfungsi normal, bundel neurovaskular alveolaris inferior, n. lingualis , atau sinus maxillaris. Kontraindikasi umum meliputi usia lanjut, dan gangguan kondisi fisik yang sedemikian sehingga merupakan risiko tinggi untuk dilakukan pembedahan. ( Gordon W. Pedersen, 1996)
Waktu Ideal
Pencabutan M3 impaksi yang terlalu awal sebaiknya dihindari. Pada maksila, M3 yang sedang tumbuh mungkin terletak diantara dataran apikal dari M2 di dekatnya. Apabila kondisi ini terjadi, pencabutan akan sangat sulit karena jalan masuk sangat terbatas. Risiko kerusakan antrum karena tidak hati-hati dan morbiditas yang tinggi, khususnya edema, sering terjadi. Pencabutan M3 bawah impaksi yangterlalu awal sering disertai dengan penghilangan tulang yang terlalu luas untuk mendapatkan jalan masuk dan frustasi akibat upaya mengungkit gigi yang tertanam dalam alveolusnya. Penganut konsep konservatif umunya menganjurkan untuk menunggu sampai gigi terbungkus oleh tulang yang lebih tipis dan akarnya paling tidak sudah bertumbuh sepertiga atau duapertiganya. Periode emas untuk mencabut gigi M3 yang impaksi adalah apabila pembentukan akar masih belum sempurna, tulang pombungkusnya minimal, dan pasien dibawah usia 18 tahun. ( Gordon W. Pedersen, 1996)



DAFTAR PUSTAKA

Balaji, S.M, Text Book of Oral and Maxilofasial Surgery, Elsevier, New Delhi, 2007
Mansjoer Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Volume 1, Jakarta: mediaAesculapius FKUI 2000
Pedersen, Gordon W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC.

0 komentar:

Posting Komentar | Feed

Posting Komentar



 

My Blog List

Follower

Revias Clinics Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER